Cari Blog Ini

Rabu, 30 Mei 2012

Bio Agent

MAKALAH ORGANISME TANAH
BIOTEKNOLOGI TANAH
“BIO-AGENT”




Oleh:
Kelompok III
1.  M.DENI RISWANDI (05101007063)
2.  ANDRI DENI LANDA(05101007064)
3.  MURNIATI (05101007065)
4.  ESSY NOVITA SARI (05101007066)
5.  SONDANG K.SITORUS (05101007067)
6.  GABRIEL B. M. PANDIANGAN (05101007068)


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA
2011

A.  LATAR BELAKANG

          Penggunaan pestisida sintetik merupakan metode umum dalam upaya pengendalian hama dan penyakit yang menyerang tanaman pertanian. Kebanyakan pestisida sintetik memiliki sifat non spesifik, yaitu tak hanya membunuh jasad sasaran tetapi juga membunuh organisme lain. Pestisida sintetik dianggap sebagai bahan pengendali hama penyakit yang paling praktis, mudah diperoleh, mudah dikerjakan dan hasilnya cepat terlihat. Bahkan petani menganggap bahwa pestisida adalah dewa penolong yang mampu memberikan solusi peningkatan hasil pertanian. Jika tidak ada pestisida yang dijual di toko-toko harapan petani hilang dan rasa malas untuk bertani akan timbul.
Padahal penggunaannya sering menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan, keracunan terhadap manusia dan hewan peliharaan dan dapat mengakibatkan resistensi serta resurgensi bagi hama serangga (Rejesus,1986; Stoll,1988; Thamrin dan Asikin, 2005). Selain itu Ahmed (1995) mengemukakan bahwa lebih dari 400.000 kasus keracunan setiap tahunnya dan 1,5% diantaranya sangat parah, serta terjadinya kontaminasi air, tanah, udara yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Untuk mengurangi frekuensi penggunaan pestisida sintetik salah satunya adalah menggantinya dengan pestisida dari bahan nabati, karena beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama (Balfas, 1994; Mudjiono et al., 1994). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen (Campbell, 1933, Burkill, 1935). Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman (Grainge dan Ahmed, 1988; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya terdapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Selama dekade terakhir terdapat peningkatan minat yang besar dalam pencarian senyawa insektisida dari tumbuhan (Schmutterer, 1995). Sifat bahan nabati pada umumnya mudah terurai di alam sehingga residunya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai contoh bahwa piretrin (bahan aktif dari bunga piretrum yang digunakan sebagai insektisida nabati) merupakan zat yang cepat terdegredasi di alam, khususnya apabila terkena sinar matahari sehingga zat ini tidak persisten baik di lingkungan maupun pada bahan makanan (Maciver, 1962).
Keadaan tersebut juga dapat menekan peluang jasad bukan sasaran terkena residu. Namun persistensi yang singkat kadang-kadang kurang menguntungkan dari segi ekonomi, karena untuk mencapai keefektifan pengendalian yang maksimum pada tingkat populasi tinggi diperlukan aplikasi yang berulang-ulang. Walaupun demikian, pestisida dari bahan nabati memungkinkan untuk digunakan pada saat menjelang panen.

B.  TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
a.     Untuk memahami pengertian dari pestisida hayati.
b.     Untuk memahami pestisida hayati dengan menggunakan virus.
c.     Untuk memahami pestisida hayati dengan menggunakan bakteri .
d.     Untuk memahami pestisida hayati dengan menggunakan nematode.
e.    Untuk memahami pestisida hayati dengan menggunakan jamur .

 C.  PERMASALAHAN

Dampak penggunaan pestisida buatan (kimia) serta penggunaan pestisida hayati terhadap pertanian di Indonesia ? 


D.  PEMECAHAN MASALAH

Dampak Negatif dari Penggunaan Pestisida Kimia
Petani selama ini tergantung pada penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Selain yang harganya mahal, pestisida kimia juga banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain adalah:
1.     Hama menjadi kebal (resisten)
2.    Peledakan hama baru (resurjensi)
3.    Penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen
4.    Terbunuhnya musuh alami
5.    Pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia
6.    Kecelakaan bagi pengguna

FAKTA DAN DATA AKIBAT BURUK PESTISIDA
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa :
1. Diketemukannya data penyakit-penyakit akut yang diderita pada kelompok petani, seperti hamil anggur pada isteri-isteri petani di Lembang.
2. 12 orang petani di Klaten meninggal dunia akibat keracunan pestisida.
3. 18 penduduk transmigrasi di Lampung Utara meninggal akibat racun tikus, penyakit kulit eksim basah, TBC, kanker saluran pernafasan.
4. 25% dari 2400 wanita pada tahun antara 1959 – 1966 yang pernah melahirkan bayi dengan bobot di bawah normal memiliki kandungan DDT yang telah terurai pada darahnya lima kali lebih besar dari kadar normal.
5. Tahun 2001 terjadi kematian pada ayam-ayam di sekitar lahan pertanian akibat akumulasi paparan pestisida yang terbawa angin. (Kusnadi Umar Said, Puncak Jawa Barat).
6. Logam berat yang merupakan unsur pestisida biasanya ditimbun di dalam hati, sehingga mempengaruhi metabolisme dan menyebabkan kerusakan pada ginjal.
7. Pestisida juga dapat mengganggu peredaran hormon sehingga menyebabkan efek testikular dan menimbulkan sejumlah penyakit seperti kanker prostat, problem reproduksi perempuan, kanker payudara, dan perubahan perilaku.
8. Sebuah penelitian di Cina, bahkan mengungkap pria yang terkena pengaruh pestisida selama bekerja ternyata berisiko mendapat gangguan kualitas sperma yang dapat mempengaruhi kesuburan.
9. Ditemukan katak cacat tanpa sebelah kaki akibat penggunaan pestisida kimia oleh staf pengajar Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fak. Kehutanan IPB.
10. Penipisan cangkang telur burung elang.
11. Mengganggu kehidupan perairan, misalnya membunuh ikan.
12. Gejala keracunan yang disebabkan oleh berbagai golongan pestisida :

Pestisida Hayati
          Pestisida hayati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan (daun, buah, biji atau akar) berfungsi sebagai penolak, penarik, anti fertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya dapat untuk pengendalikan hama. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida. Pestisida nabati bersifat mudah terurai (bio-egradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang. Efektivitas tumbuhan sebagai pestisida nabati sangat tergantung dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang berbeda dapat menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat racunnya tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut. Pestisida dari bahan nabati sebenarnya bukan hal yang baru tetapi sudah lama digunakan, bahkan sama tuanya dengan pertanian itu sendiri. Sejak pertanian masih dilakukan secara tradisional, petani di seluruh belahan dunia telah terbiasa memakai bahan yang tersedia di alam untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.
          Penggunaan pestisida hayati bukan baru dimulai setelah pertanian organik dibicarakan di bebagai kalangan namun pestisida organik sudah digunakan sejak manusia mengenal pertanian. Namun hal tersebut masih bersifat tradisional dan belum dikembangkan secara profesional. Diantaranya petani menggunakan daun sirsak untuk mengendalikan hama belalang dan penggerek batang padi. Sedangkan petani di India, menggunakan biji mimba sebagai insektisida untuk mengendalikan hama serangga. Namun setelah ditemukannya pestisida sintetik pada awal abad ke-20, pestisida dari bahan tumbuhan atau bahan alami lainnya tidak digunakan lagi.

Fungsi dari Pestisida Hayati
Pestisida Hayati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1.     Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat
2.    Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot.
3.    Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
4.    Menghambat reproduksi serangga betina
5.    Racun syaraf
6.    Mengacaukan sistem hormone di dalam tubuh serangga
7.    Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga
8.    Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri

Konsep pegendalian hama pada pertanian organik padi SRI ada 2 macam :
1. Dalam metode SRI, pengendalian hama dilakukan dengan sistem PHT. Dengan sistem ini, petani diajak untuk bisa mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem (seperti matahari, tanaman, mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai alat pengendali hama dan penyakit tanaman. Petani diharapkan lebih kreatif dalam membuat berbagai cara untuk membuat pengendalian dengan mengunakan bahan-bahan disekitar.
2. Jika serangan hama sudah melewati ambang batas dilakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida organik berupa ramuan yang sudah diolah melalui proses yang didapatkan disekitar.
Pengendalian hama dalam pertanian organik dengan menggunakan petisida organik bukanlah suatu keharusan yang harus dilakuakn. Karena sesuai dengan pengalaman dilapangan bahwa hama itu tidak selamanya harus dikendalikan dengan menggunakan racun. Maka hal itulah yang membutuhkan pengamatan secara berkala untuk menentukan waktu penggunaan pestisida.
          Pada awal tahun 80-an pestisida dianggap sebagai suatu jaminan akan keberhasilan bertani. Tanpa pestisida hampir dipastikan kegiatan pertanian tidak akan berhasil secara optimal dan sebaliknya dengan pestisida kegiatan bertani dijamin keberhasilannya. Pada waktu itu, penggunaan pestisida didukung oleh pemerintah melalui Bimas – Inmas sehingga penyaluran pestisida ke desa-desa berjalan lancar. Dengan pemberian subsidi yang besar, yaitu mencapai 80 %, terhadap pestisida mengakibatkan harganya menjadi murah sehingga para penyuluh pun gencar mempromosikan penggunaan pestisida. Satu hal yang lebih mendorong penggunaan pestisida saat itu adalah dalam perlombaan hasil intensifikasi, frekuensi penyemprotandijadikan salah satu kriteria : makin banyak menyemprot makin tinggi angka yang diperoleh.
          Petani sering berpikir bahwa pemakaian pestisida adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengendalikan hama, dan petani akan merasa tertolong secara sempurna dengan adanya bantua racun. Jika belum menggunakan racun maka sirnalah harapan petani untuk mendapatkan hasil, tetapi sebenarnya hal itu tidak tepat. Pemikiran inilah yang sudah dibuktikan oleh petani sejak dimulainya program revolusi hijau. Dimana pemerintah menganjurkan untuk menggunakan pupuk dan pestisida untuk membantu meningkatkan produksi pangan. Dan dibuktikan pada tahun 1985 indonesia berhasil menjadi negara pengekspor beras namun han itu tidak bertahan lama. Pada saat itu perusahaan pestisida di Indonesia menjadi ladang bisnis yang paling menguntungkan. Namun, pada puncak kejayaan pestisida, yaitu sekitar tahun 1984-985, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat banyak dampak negatif dari penggunaan pestisida. Beberapa dampak negatif tersebut di antaranya kasus keracunan pada manusia, ternak peliharaan, polusi lingkungan, dan hama menjadi resisten.

Macam-macam pestisida hayati:
1. Pestisida Hayati dengan Menggunakan Virus
NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel (nukleus). NPV memiliki badan inklusi berbentuk polihedral yang merupakan kristal protein pembungkus virion dengan diameter 0.2 – 20 mm. Kristal protein ini disebut dengan protein polihedrin yang berukuran kurang lebih 29.000 sampai 31.000 Dalton. Kristal protein ini berfungsi sebagai pelindung infektifitas partikel virus dan menjaga viabilitasnya di alam serta melindungi DNA virus dari degradasi akibat sinar ultra violet matahari.
VIR-L dan VIR-X yang berbahan aktif SeNPV dan SlNPV diaplikasikan dengan alat semprot, sama seperti yang digunakan untuk menyemprot pestisida (knapsack sprayer). Aplikasi sebaiknya ditujukan untuk mengendalikan ulat instar 1 – 3. Penyemprotan sebaiknya diarahkan ke permukaan daun bagian bawah dan dilakukan pada sore atau malam hari agar tidak langsung terkena pengaruh sinar matahari, disamping itu ulat grayak Spodoptera memiliki sifat nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari.

2.  Pestisida Hayati dengan Menggunakan Bakteri
Bakteri bisa menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alamiah, beberapa genus yang banyak mendapat perhatian yaitu Agrobacterium, Bacillus, dan Pseudomonas.
Pseudomonas sp. telah diteliti sebagai agen pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Strain P.fluorescens dan P. putida yang diaplikasikan pada umbi kentang telah menggalakkan pertumbuhan umbi kentang. Pseudomonas pendarfluor meningkatkan hasil panen umbi kentang 5-33%, gula beet 4-8 ton/ha. dan menambah berat akar tumbuhan radish 60-144%. Strain ini dan strain-strain yang sama dengannya disebut sebagai rizobakteri perangsang per tumbuhan tanaman (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria, PGPR). Sebutan sebagai rizobakteri pada bakteri Pseudomonas spp. Kemampuan PGPR sebagai agen pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan pathogen.    
Baru-baru ini telah dibutikan bahwa Pseudomonas spp. dapat menstimulir timbulnya ketahanan tanaman terhadap infeksi jamur patogen akar, bakteri dan virus. Bahwa ekstrak lipopolisakarida (LPSs) dari membran luar P.fluorescens menyebabkan ketahanan sistemik terhadap infeksi Fusarium oxysporom f.sp. dianthi pada tumbuhan bunga carnation. Sianida yang dihasilkan P. fluorescens stroin CHAO merangsang pembentukan akar rambut pada tumbuhan tembakau dan menekan pertumbuhan Thielaviopsis basicola penyebab penyakit busuk akar, diduga bahwa sianida mungkin penyebab timbulnya ketahanan sistemik (ISR). Siderofor pyoverdine dari P. fluorescens strain CHAO adalah sebab timbulnya ketahanan sistemik pada tumbuhan tembakau terhadap infeksi virus nekrosis tembakau.

3. Pestisida Hayati dengan Menggunakan Nematoda
Cara nematoda menyerang hama adalah nematoda masuk ke dalam tubuh larva serangga melalui lubang tubuh alami seperti spirakel, anus, atau termakan oleh larva serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, nematoda langsung melepaskan bakteri simbiosisnya ke dalam usus larva serangga. Bakteri inilah yang membunuh larva dengan cara mengeluarkan zat yang bersifat antibiotik atau racun terhadap serangga.
Dalam waktu 1-2 hari larva mati. Larva yang mati biasanya ditunjukkan dengan gejala yang khas tergantung warna permukaan tubuh ulat. Ulat hongkong yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman, tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan. Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2-3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tubuh larva dan mencari inang lain.

4. Pestisida Hayati dengan Menggunakan Jamur
Dalam pengaplikasiaannya banyak sekali pestisida hayati yang aman digunakan di dalam pengendalian hama. Berikut ini adalah penggunaan jamur di dalam pengenndalian hayati. Contoh jamur yang kami gunakan di dalam makalah ini adalah Beauveria bassiana.

Beauveria bassiana Pengendali Walang Sangit
Serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produksi pertanian. Untuk pengendalian OPT, jalan pintas yang sering dilakukan adalah menggunakan pestisida kimia. Padahal penggunaan pestisida yang tidak bijaksana banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Memperhatikan pengaruh negatif pestisida tersebut, perlu dicari cara-cara pengendalian yang lebih aman dan akrab lingkungan. Hal ini sesuai konsepsi pengendalian hama terpadu (PHT), bahwa pengendalian OPT dilaksanakan dengan mempertahankan kelestarian lingkungan, aman bagi produsen dan konsumen serta menguntungkan petani. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga, yaitu jamur patogen Beauveria bassiana.
Laboratorium BPTPH Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengembangkan dan memproduksi secara massal jamur patogen serangga B. bassiana sebagai insektisida alami. Berdasarkan kajian jamur B. bassiana efektif mengendalikan hama walang sangit, wereng batang coklat, dan kutu (Aphis sp.).

CARA KERJA B. bassiana.
Jamur B. bassiana masuk ketubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh.
  Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Namun apabila keadaan kurang menguntungkan perkembangan jamur hanya berlangsung di dalam tubuh inang.

GEJALA SERANGAN
Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi, dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.

HAMA SASARAN
Dilaporkan telah diketahui lebih dari 175 jenis serangga hama yang menjadi inang jamur B. bassiana. Berdasarkan hasil kajian jamur ini efektif mengendalikan hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman padi serta hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran.


KEUNGGULAN
          Beberapa keunggulan jamur patogen serangga B. bassiana sebagai pestisida alami, yaitu :
1.     Selektif terhadap serangga sasaran sehingga tidak membahayakan serangga lain bukan sasaran, seperti predator, parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna lebah madu.
2.    Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada aliran air alami.
3.    Tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman.
4.    Mudah diproduksi dengan teknik sederhana.
Untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif, penyemprotan sebaiknya dilakukan sore hari (pukul 15.00 – 18.00) untuk mengurangi kerusakan oleh sinar ultraviolet.  Formulasi B. bassiana sebaiknya disimpan di tempat yang sejuk untuk mempertahankan efektivitasnya, dan sedapat mungkin dihindarkan dari pengaruh panas secara langsung. 

E.  KESIMPULAN

Pada umumnya pestisida sintetik dapat membunuh langsung organisme sasaran dengan cepat. Hal ini berbeda dengan pestisida hayati, sebagai contoh insektisida nabati yang umumnya tidak dapat mematikan langsung serangga, biasanya berfungsi seperti berikut:
1.Menolak kehadiran serangga terutama disebabkan baunya yang menyengat
2.Menyebabkan serangga tidak menyukai tanaman, misalnya disebabkan rasa yang pahit
3.Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan telur
4.Racun syaraf
5.Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga
6.Sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat digunakan sebagai perangkap
Pestisida dari bahan nabati sebenarnya bukan hal yang baru tetapi
sudah lama digunakan, bahkan sama tuanya dengan pertanian itu sendiri. Sejak pertanian masih dilakukan secara tradisional, petani di seluruh belahan
dunia telah terbiasa memakai bahan yang tersedia di alam untuk
mengendalikan organisme pengganggu tanaman.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.lestarimandiri.org/id/pestisida-organik.html Diakses pada tanggal 22 Oktober 2011.
http://pertanianorganik-yuliusbari.blogspot.com/ Diakses pada tanggal 26Oktober 2011.

PGPR

MAKALAH ORGANISME TANAH
RHIZOBACTERIA PENDUKUNG PERTUMBUHAN TANAMAN





Oleh:
Kelompok II
1.  M.DENI RISWANDI (05101007063)
2.  ANDRI DENI LANDA(05101007064)
3.  MURNIATI (05101007065)
4.  ESSY NOVITA SARI (05101007066)
5.  SONDANG K.SITORUS (05101007067)
6.  GABRIEL B. M. PANDIANGAN (05101007068)
7.  OSCAR H PASARIBU (05101007070)
8.  PURNA YUDHA BHAKTI P (05101007071)
9.  ROSMALINA (05101007072)
10.             EKO DEDI SEPTIAJI (05101007073)
11.  NISS VENANTI ULFA C (05101007075)
12.             AL ARY PUTRA (05101007076)
13.             ARDANI PUTRA (05101007078)
14.             HANNA RUT PURBA (05101007079)
15.             AYU DWI ANJANI (05101007080)


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA
2011


BAB I
PENDAHULIAN

A. Latar Belakang
Tanah dapat dipandang sebagai permukaan lahan di atas bumi yang menyediakan substrat bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Ciri-ciri lingkungan tanah bervariasi menurut letak dan iklimnya. Tanah juga memiliki kedalaman, sifat-sifat fisik, komposisi kimiawi dan asal yang berbeda-beda. Ada lima kategori utama unsur tanah, yaitu: partikel, mineral, bahan organik, air, gas dan jasad hidup.
Tanah berasal dari batuan yang telah lapuk. Tanah merupakan sumber penghidupan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Tanah dapat diolah menjadi tanah pertanian untuk menghasilkan bahan-bahan kebutuhan hidup manusia. Hasil dari pertanian dapat kita olah menjadi bahan makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Tanah tidak hanya terdiri dari satu lapisan saja. Susunan lapisan tanah terdiri atas humus, lempung, geluh, pasir, dan kerikil. Tanah yang baik adalah tanah yang banyak mengandung humus dan perbandingan bagian pasir, geluh, dan lempungnya hampir sama.
Tanah merupakan tempat hidup yang paling ideal bagi bakteri karena mengandung bahan organic,anorganik dan mineral yang berlimpah.Setiap elemen tanah memiliki jenis, populasi dan sifat genetic yang berbeda. Keanekaragaman mikroorganisme pada tanah : Bakteri, Algae,Mold, Protozoa, Amuba, Actinomycetes Flagellata, Cilliata.
Tanah subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah.Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung ppada aktivitas mikroba tersebut.Sebagian besar mikroba memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organic, recycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, meransang pertumbuhan, biokontrol pathogen dan membantu penyerapan unsure hara.Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut. Pembagian mikroba :
1.     Golongan aotohtonus : mikroba yang selalu ditemukan dan tidak dipengaruhi lingkungan.
2.    Golongan Zimogenik : kehadirannya diakibatkan pengaruh luar yang baru.
3.    Golongan Transien : kehadirannya bersamaan dengan adanya penambahan secara buatan.
Mikroorganisme merupakan jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat kecil (Kusnadi, dkk, 2003). Setiap sel tunggal mikroorganisme memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan antara lain dapat dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan sendirinya.
Mikroorganisme memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi karena mikroorganisme ini harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang besar sehingga apabila ada interaksi yang tinggi dengan lingkungan menyebabkan terjadinya konversi zat yang tinggi pula. Akan tetapi karena ukurannya yang kecil, maka tidak ada tempat untuk menyimpan enzim-enzim yang telah dihasilkan.Dengan demikian enzim yang tidak diperlukan tidak akan disimpan dalam bentuk persediaan.enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk perngolahan bahan makanan akan diproduksi bila bahan makanan tersebut sudah ada. Mikroorganisme ini juga tidak memerlukan tembat yang besar, mudah ditumbuhkan dalam media buatan, dan tingkat pembiakannya relative cepat (Darkuni, 2001). Oleh karena aktivitasnya tersebut, maka setiap mikroorganisme memiliki peranan dalam kehidupan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan.

B. Tujuan
          Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji peranan mikrofauna tanah terhadap peningkatan produksi pertanian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan tanaman adalah proses terjadinya peningkatan jumlah dan ukuran daun dan batang. Hasil pertumbuhan tanaman adalah produk yang dapat dikonsumsi atau dimanfaatkan menjadi produk lain, atau hanya bersifat estetis. Pengambilan hasil dinamakan pemanenan, yang dapat dilakukan oleh manusia, hewan atau peralatan mesin.
Setiap proses pertumbuhan memerlukan energi. Tanaman mendapatkan energinya dari matahari melalui proses fotosintesis, yang merupakan proses penyerapan cahaya oleh pigmen hijau (klorofil) dalam daun. Energi cahaya, air dan CO2  menghasilkan O2 dan gula sederhana. Tanaman kemudian memanfaatkan gula sederhana ini untuk mensintesa gula yang lebih kompleks serta karbohidrat untuk disimpan sebagai energi yang dapat digunakan kembali jika dibutuhkan untuk mensintesa selulosa dan hemiselulosa pada dinding sel, atau menggabungkannya dengan nitrogen untuk mensintesa protein. Bagaimana tanaman memanfaatkan energi ini bergantung pada stadia pertumbuhan tanaman dan kondisi lingkungan (Rayburn, 1993).
Pertumbuhan tanaman tidak hanya terjadi pada bagian atas (tajuk) tanaman, tetapi juga terjadi pada bagian bawah (akar) tanaman. Akar menentukan kemampuan tanaman untuk menyerap nutrisi dan air, pertumbuhannya ditentukan oleh area daun yang aktif melakukan fotosintesis karena akar bergantung pada penangkapan energi oleh daun. Pada saat suplai energi terbatas, maka energi yang ada digunakan oleh jaringan tanaman yang paling dekat dengan lokasi fotosintesis. Oleh karena itu akar menerima energi hanya pada saat ada kelebihan energi yang diproduksi melalui fotosintesis yang tidak digunakan untuk pertumbuhan tajuk tanaman.
Proses pertumbuhan tajuk dan akar merupakan proses yang saling berkaitan  satu sama lain. Apabila terjadi gangguan pada salah satunya maka akan menyebabkan gangguan pada bagian lainnya. Misalnya pada kondisi kekurangan air dan nitrogen, pertumbuhan tajuk lebih mengalami hambatan daripada bagian akar. Hal ini disebabkan akar bertugas lebih banyak untuk mencari air dan sumber N dari dalam tanah untuk didistribusikan ke bagian tajuk. Pada saat ketersediaan air memadai maka pertumbuhan tajuk kembali ke arah normal sehingga distribusi fotosintat ke akar juga kembali normal.
Tanaman membutuhkan sedikitnya 13 unsur hara untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Beberapa unsur berada dalam bentuk tersedia dalam semua jenis tanah, sedangkan lainnya dalam bentuk tidak tersedia sehingga membutuhkan tambahan dari luar tanah dalam bentuk pemupukan. Unsur hara ini berperan sebagai nutrisi bagi tanaman, sedangkan sistem yang mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah substansi kimia yang konsentrasinya sangat rendah, yang disebut substansi pertumbuhan tanaman, hormon pertumbuhan tanaman (fitohormon), atau pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth regulator / PGR) (Gardner dkk., 1991).
Inokulan PGPR dinamakan Azora, yang merupakan hasil pengembangan formulasi yang ditujukan untuk mengurangi kebutuhan pupuk N, P
dan K. Azora ini mengandung isolat bakteri penghasil hormon tumbuhan, pemfiksasi
N2, dan pelarut fosfat (Gandanegara, 2007).
Sebagaimana pemahaman mengenai kompleksnya lingkungan rizosfer, mekanisme aksi PGPR, dan aspek praktek dari formulasi inokulan, kita dapat menduga untuk mengetahui produk PGPR baru menjadi tersedia. Sukses dari produk
ini akan bergantung pada kemampuan untuk mengelola rizosfer untuk meningkatkan ketahanan dan data kompetisi dari mikroorganisme bermanfaat ini (Bowen and Rovira, 1999).


BAB III
PEMBAHASAN

Beberapa spesies bakteri rizosfer (di sekitar perakaran) yang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sering disebut Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau Rhizobakteria Pemacu Pertumbuhan Tanaman (RPPT). RPPT terdiri atas genus Rhizobium, Azotobacter, Azospirillum, Bacillus, Arthrobacter, Bacterium, Mycobacterium, dan Pseudomonas (Tien et al. 1979, Kloepper et al. 1980, Kloepper 1983, Schroth & Weinhold 1986, Biswas et al. 2000).
Bakteri pemacu tumbuh secara langsung memproduksi fitohormon yang dapat menginduksi pertumbuhan. Peningkatan pertumbuhan tanaman dapat terjadi ketika suatu rizobakterium memproduksi metabolit yang berperan sebagai fitohormon yang secara langsung meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tien et al. 1979, Schroth & Weinhold 1986, Zakharova et al. 1999, Maor et al. 2004). Metabolit yang dihasilkan selain berupa fitohormon, juga antibiotik, siderofor, sianida, dan sebagainya. Fitohormon atau hormon tumbuh yang diproduksi dapat berupa auksin, giberelin, sitokinin, etilen, dan asam absisat.
Bakteri pemacu tumbuh secara tidak langsung juga menghambat patogen melalui sintesis senyawa antibiotik, sebagai kontrol biologis. Beberapa jenis endofitik bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inangnya dalam meningkatkan ketahanannya terhadap serangga hama melalui produksi toksin, di samping senyawa anti mikroba seperti fungi Pestalotiopsis microspora, danTaxus walkchiana yang memproduksi taxol (zat antikanker) (Strobel et al. 1999).  Miles et al. (1998) melaporkan bawa endofitik Neotyphodium sp. Menghasilkan N-formilonine dan a paxiline (senyawa antiserangga hama).
PGPR ini pertama kali diteliti oleh Kloepper dan Schroth tahun 1978. Mereka menemukan bahwa keberadaan bakteri yang hidup di sekitar akar ini mampu memacu pertumbuhan tanaman jika diaplikasikan pada bibit/benih. Tidak hanya itu, tanaman nantinya akan beradaptasi terhadap hama dan penyakit.
Rizobakteri yang bermanfaat dinamakan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR). Oleh karena itu, PGPR dapat dipertimbangkan secara fungsional sebagai bakteri bermanfaat yang mengkolonisasi akar.
          Efek PGPR pada tanaman yang diiinokulasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu: mendukung pertumbuhan tanaman dan pengendali secara biologis (biokontrol). Meskipun secara konseptual kedua efek ini sangat berbeda, dalam prakteknya sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk menentukan perbedaan dan batas antara keduanya. Strain PGPR Pseudomonas fluoresens dipilih untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil dari tanaman kentang, tetapi gagal mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan dalam kondisi gnotobiotic. Dan growth promotion yang terjadi pada kondisi tanah lapang berkaitan dengan reduksi populasi rizoplan asli, yaitu fungi dan bakteri.
          Pertumbuhan tanaman distimulasi PGPR secara tidak langsung dengan cara mereduksi aktivitas organisme lainnya, sehingga dinamakan biokontrol. Sebaliknya, beberapa strain PGPR mendukung pertumbuhan tanaman secara langsung dalam ketiadaan mikroflora asli rizosfer. Meskipun inhibisi dari mikroflora asli tidak terlibat dengan growth promotion, biokontrol dapat terjadi pada saat PGPR diuji dalam kajian penyakit atau pada percobaan lapang dengan patogen asli.
          Biokontrol pada beberapa kasus diperkirakan muncul akibat dari penyakit yang terbebaskan. Akar menunjukkan pemanjangan atau percabangan yang berlebih akibat perlakuan PGPR, dapat meloloskan infeksi dari fungi patogen asal tanah yang lebih mudah menginfeksi benih muda. Selain itu infeksi patogen yang terlokalisir dalam 1 area sistem perakaran mungkin diseimbangkan oleh suatu peningkatan global dalam biomassa akar sebagai kompensasi.
          Apabila dilakukan evaluasi PGPR dalam penelitian lapangan atau tanah lapangan yang disimpan dalam penelitian greenhouse, memungkinkan untuk menggambarkan efek yang teramati dari PGPR pada tanaman inang secara prinsip sebagai pendukung pertumbuhan atau biokontrol dengan mencatat perkembangan pertumbuhan tanaman dan simptom yang terjadi selama pertumbuhan tanaman.
          Biokontrol terhadap fitopatogen tampaknya menjadi mekanisme utama dari PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Penekanan fitopatogen merupakan hasil dari produksi metabolit sekunder atau datang pada tanaman dengan sendirinya sebagai sistem pertahanannya. PGPR berbasis inokula seharusnya dapat bersaing dengan mikroorganisme indigenous dan dengan efisien mendiami daerah perakaran tanaman untuk melindunginya.

Kisaran Tanaman Inang bagi PGPR
          Selama 5 tahun yang lalu penelitian PGPR dilanjutkan dengan tambahan 3 tujuan. Pertama, pekerjaan yang telah dilakukan pada tanaman “tanpa akar” sebagai tanaman inang menunjukkan bahwa mayoritas tanaman kondusif terhadap induksi PGPR terhadap pertumbuhan. Tujuan kedua melibatkan karakterisasi dampak pesifik PGPR, yaitu dampak lain selain mendukung hasil produksi. Studi pada tujuan edua ini telah mengarahkan pada keberadaan 2 sub-kelas baru dari PGPR dan menunjukkan bahwa PGPR dapat juga digunakan sebagai agen biokontrol. Tujuan ketiga dari pekerjaan ini membuktikan bahwa beberapa strain PGPR dapat mendukung pertumbuhan tanaman secara langsung, yaitu dengan meniadakan kehadiran mikroorganisme patogenik atau yang merugikan.
          Tanaman inang bagi bakteri PGPR memiliki kisaran yang cukup luas, di antaranya adalah :
a.     Barley
          Iswandi et al. (1987) meneliti efek “rhizopseudomonad” strain 7NSK2 yang diisolasi dari kultur hidroponik tanaman barley, terhadap barley yang ditumbuhkan di
lapangan. Bobot kering tanaman yang mendapat perlakuan PGPR meningkat dari 5 – 20% dibandingkan dengan kontrol tanpa PGPR.

b.     Kedelai
          Strain Pseudomonas putida mengkolonisasi akar lateral dan akar utama tanaman kedelai (Phaseolus vulgaris L.) dalam kultur hidroponik. Dihasilkan peningkatan kadar lignin dalam akar, bobot tanaman meningkat dalam perlakuan P. putida setelah diinokulasi dengan Fusarium solani f. sp. phaseoli.

c.     Kanola
          Potensi untuk mendapatkan peningkatan hasil pada kanola (Brassica campestris L dan B. napus L.) melalui perlakuan PGPR dilaporkan pada tahun 1988. Lebih dari 4000 strain bakteri dikumpulkan dari zona akar dan secara individu dievaluasi untuk tumbuh pada temperatur 4 – 14oC, metabolisme eksudat benih, kemotaksis terhadap aspargin dan kolonisasi akar. 887 dari strain ini diuji kemampuan growth promotornya alam percobaan green house menggunakan tanah dari lapangan. 35 strain meningkatkan area daun, 13 strain meningkatkan hasil sampai 57% selama 2 tahun, 3 strain meningkatkan hasil 6 – 13% selama 2 tahun. Strain PGPR yang diidentifikasi dalam pengujian ini termasuk P. putida, P. fluorescens, Serratia liquefaciens, P. putida biovar B, dan Arthrobacter citreus.

d.     Kapas
          Dua strain dari P. fluorescens yang ditapis (di-screening) untuk antagonisme secara in vivo pada 2 patogen tanaman, jamur dan bakteri, meningkatkan bobot tanaman 8 – 40% pada tanaman kapas berusia 4 minggu dalam percobaan green house dengan tanah lapangan.

e.    Jagung
          Evaluasi lapangan terhadap pseudomonad PGPR pada jagung dilakukan selama 5 tahun. Strain bakteri diseleksi sebagai growth promotor pada percobaan green house dalam berbagai kondisi pertumbuhan di mana secara visual terlihat terjadi pemacuan pertumbuhan dan peningkatan bobot kering tanaman. Pada percobaan lapangan, strain mengkoloni akar pada kepadatan populasi rata-rata Log 3 cfu/cm akar dan mempengaruhi peningkatan hasil dari 3 – 3,5 bu/acre dibandingkan dengan kontrol pada berbagai lokasi sekitar 5 tahun.

f.     Kacang-kacangan
          Strain A-13 dari Bacillus subtilis diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kacang di lapangan. Penelitian berikutnya mengindikasikan bahwa strain mempengaruhi peningkatan produksi sekitar 14 – 24%. Strain A-13 ini tidak seperti kebanyakan strain Bacillus sp., di mana A-13 adalah pengkoloni akar. Kolonisasi akar berkaitan dengan peningkatan keseluruhan pertumbuhan tanaman, pertumbuhan akar yang lebih cepat dan lebih tersedianya nutrisi tanaman. Oleh karena itu strain A13 ini dinyatakan termasuk dalam golongan PGPR.

g.     Padi
          Sakthivel et al. (1986) mengisolasi strain P. fluorescens dari rizosfer berbagai tanaman dan strain terseleksi menunjukkan spektrum lebar secara in vitro dalam hal antibiosis terhadap fungi dan bakteri patogen. Pada saat strain ini dilapiskan pada benih padi yang ditanam dalam pot menggunakan tanah dari lapangan, 4 strain menginduksi peningkatan tinggi tanaman sekitar 12 – 14% lebih tinggi.

Tanaman sayuran
          Pengaruh beberapa bakteri yang mengkolonisasi akar pada tanaman sayuran dilaporkan dalam kolaborasi bilateral (Elad et al., 1987). Perlakuan biji dengan bakteri dalam percobaan pot meningkatkan bobot kering dua minggu setelah penanaman untuk tomat, lada, tembakau, ketimun, dan melon. Allelix Crop Technologies, perusahaan bioteknologi Kanada, telah mengevaluasi PGPR, yang pada awalnya dipilih untuk meningkatkan pertumbuhan canola, pada tanaman sayuran (R. Lifshitz, komunikasi pribadi). Beberapa strain pseudomonads flourescent dan Serratia spp. membantu pertumbuhan sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan
bobot kering pucuk dan akar dalam percobaan di rumah kaca dengan tanah lapangan pada tomat, ketimun, jagung manis, wortel, dan seledri. Tim peneliti di Kalifornia menyelidiki pengaruh PGPR pada seledri (M.N. Schroth, komunikasi pribadi). Tiga puluh bakteri yang mengkolonisasi akar, termasuk yang dikonfirmasi sebagai PGPR pada tanaman lainnya, ditapis langsung di lapangan untuk peningkatan pertumbuhan seledri dengan Fusarium oxysporum f.sp. apii yang secara alami ada di lapangan.
          Empat strain dipilih untuk digunakan dalam tiga percobaan tindak lanjut yang diulang tiga kali. Tercatat bahwa ada spesifitas genotipik yang sangat kuat dalam respons terhadap inokulasi PGPR. Satu strain PGPR menstimulasi peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan awal (peningkatan bobot kering dan/atau segar) pada ketiga percobaan dan peningkatan panen yang signifikan, yaitu 12 sampai 15% lebih besar daripada kontrol pada dua percobaan. Strain yang sama tidak memiliki pengaruh ketika diuji pada kultivar yang lain.

Cara Membuat PGPR:
• Biang PGPR
Biang PGPR dibuat dari akar bambu sekira 250 gram yang direndam dalam air selama tiga tiga malam.

• Bahan:
20 liter air
1/2 kg dedak/bekatul
Terasi
1 sdm air kapur sirih

• Cara membuat:
Campur semua bahan, kemudian didihkan.
Setelah dingin, campurkan 1 liter “biang PGPR”. Tutup rapat. Diamkan satu hingga dua mingggu.

PGPR kelapa
Selain cara di atas, biang PGPR juga dapat dikembangkan menggunakan air kelapa segar ditambah gula merah (tetes tebu lebih baik) dan kemudian difermentasi selama seminggu.

Aplikasi PGPR
1. PGPR dan PGPR kelapa yang telah jadi dapat diaplikasikan ke tanah sekitar tanaman dengan perbandingan; 200 cc PGPR untuk 14 Liter air.
2. Benih yang direndam PGPR dapat merangsang pertumbuhan akar.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
          Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) sebagai bakteri bermanfaat yang mengkolonisasi akar.
2. Beberapa strain PGPR dapat mendukung pertumbuhan tanaman secara langsung, yaitu dengan meniadakan kehadiran mikroorganisme patogenik atau yang merugikan.

B. Saran
          Untuk menyempurnakan makalah ini penulis mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun karena penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.


DAFTAR PUSTAKA

Bowen, G. D., and Rovira, A. D. 1999. The rhizosphere and its management to
improve plant growth. Adv. Agron.
Gandanegara, S. 2007. Azora pupuk hayati untuk tanaman jagung dan sayur. Pusat
Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi. BATAN.
Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchel. 1991. Fisiologi tanaman budidaya.
Terjemahan. H. Susilo, Subiyanto (Ed). UI Press. Jakarta.
Rayburn, E.B. 1993. Plant Growth and Development as the Basis of Forage